Searah Rasa Jejak Manis Kulon Progo, Gula dan Kudapan Langka
Jalan-jalan bareng Searah Rasa kedua kalinya, kami berkunjung ke roti Kolmbeng Pak Giman dan Pabrik Gula Sewugalur. Dua hal yang baru aku tahu ketika mengikuti kegiatan ini. Tema Searah Rasa kali ini adalah “Djejak Manis Kulon Progo”. Penjelajahan akan menelusuri cerita-cerita dan jejak-jejak kebudayaan tentang sejarah perkebunan gula dan dinamika penggunaan gula pada kudapan lokal.
Setelah berkumpul di alun-alun wates, kami bersama-sama menggunakan bus menuju rumah Pak Giman. Letaknya tidak di dalam kota, tapi di desa yang bisa dibilang sepi. Kebun jati terhampar luas dan jalannya dibuat dari cor beton. Benar-benar desa yang akan sepi di malam hari, tetangganya jauh-jauh. Kami berjalan kaki menuju rumah Pak Giman yang sekaligus dijadikan tempat produksi. Tempatnya sederhana, sepetak ruangan berlantai semen yang penuh dengan alat-alat produksi. Ada oven tanah liat, pengaduk adonan, dan cetakan. Tampak dua pekerja yang sedang membuat roti dan menata roti yang sudah matang.
Giman Ciptodiyono yang sering dipanggil Pak Giman sudah
membuat roti Kolmbeng sejak tahun 2000-an tahun. Dulunya Pak Giman bekerja pada
pembuat roti di daerah Pakualaman, tapi karena semakin sei akhirnya membuka
sendiri di rumahnya. Hingga saat ini sudah diteruskan hingga tiga generasi
kepada cucu laki-lakinya. Keluarga ini menjadi salah satu pembuat roti
legendaris yang sudah sangat jarang ditemukan di pasaran. Roti Kolmbeng,
merupakan roti jaman Belanda yang saat ini sudah tidak banyak dikenal generasi
masa kini.
Roti Kolmbeng berasal dari kata kolo emben atau kolo mbiyen
yang berarti zaman dahulu. Bahannya sangat sederhana, yaitu tepung terigu,
tepung tapioka, gula pasir, dan telur. Salah satu yang membuat roti ini unik
adalah tepung tapioka. Membuat tekstur roti gering diluar dan legit di bagian dalam.
Rasanya manis gurih dan sangat cocok menjadi teman minum the atau kopi. Soanya
kalau gak ada minum bisa seret makan roti ini.
Roti Kolbeng dijual Rp 1000 kalau di rumah Pak Giman, tapi
kalau sudah di pasar bisa mencapai 1500-1700 rupiah. Roti ini dijual ke Pasar
Beringharjo dan wilayah Sleman. Selain menjadi kudapan yang murah meriah, roti
kolmbeng juga sering digunakan sebagai salah satu sajian ketika ada kenduri,
nyadran dan hajatan. Dulu sih roti ini hanya dikonsumsi oleh kalangan menengah
ke atas. Kalau sekarang siapa aja bisa makan, Cuma agak susah ya nyarinya. Aku
aja baru kali ini ketemu roti Kolmbeng, belum pernah ketemu di pasar dan
ditempat jajan.
Dari roti Kolmbeng perjalanan berlanjut ke Pabrik Gula (PG)
Sewugalur. Baru tahu juga kalau di Kulonprogo ada pabrik gula. Udah penasaran
banget, tapi ternyata pabriknya udah gak ada. Hanya tersisa beberapa bangunan
berupa rumah Indise dan sisa-sisa bangunan pabrik. Kami ditemani oleh Mas Aga
dari komunitas Roeman Toea. Jadi bisa dapat penjelasan yang lengkap Sejarah PG
Sewu galur ini. Sambil jalan kaki berkeliling, Mas Aga menjelaskan mulai dari
dari awal berdirinya pabrik hingga akhirnya berhenti beroperasi karena bagkrut
terdampak krisis perekonomian dunia.
Perjalanan kami dimulai dari rumah salah satu rumah Indise di
Sewugalur, Desa Karangsewu, Kecamatan Galur, Kabupaten Kulonprogo. Rumah ini
dihuni oleh Suwartini dan suaminya. Pemilik sebenarnya dari rumah Indise ini
adalah kakek Suwartini, Tjokrodirjo. Dibeli dari Tionghoa bernama Yantid
bersama tiga rumah Indis lain yang lokasinya berdekatan. Rumah itu lalu
diwariskan kepada Sunartedjo--Wakil Gubernur Jawa Tengah periode
1990-1994--putra bungsu Tjokrodirjo. Suwartini merawat rumah ini karena tidak
ditinggali oleh pemiliknya.
Di depan rumah Mas Aga menunjukkan selokan dengan bagian
atas berbentuk lengkungan yang menandakan gaya arsitektur Eropa. Lalu kami
melihat bekas kantor PG yang sudah menjadi warung makan dan pertokoan. Pabrik
Gula Sewugalur (Suikerfabriek Sewoegaloer) didirikan oleh E.J Hoen, O.A.O van
der Berg, dan R.M.E. Raaff mendirikan Pabrik Gula Sewugalur dalam bentuk
Perseroan Terbatas (PT) pada 1881. Pada tanah yang disewa dari bangsawan dari
keluarga Pakualaman dengan nilai 200.000 gulden. Setelah pabrik gula itu gulung
tikar, maka berdasarkan reorganisasi agraria kepemilikan tanah beralih ke
pemerintah desa. Pada 12 November 1949 tanah bekas pabrik gula dilelang kepada
masyarakat.
PG ini benar-benar tak bersisa tentara NICA (Netherlands Indies Civil
Administration) menyerbu Yogyakarta pada 18 Desember 1949, TNI membakarnya
sebagai bagian dari strategi bumi hangus. Sepanjang perjalanan kami hanya
melihat bekas dudukan cerobong asap, tungku pembakaran dan puing-puing sisa
bangunan pabrik. Tidak menyangka dulunya di sini ada pabrik gula dengan jalur
kereta sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar