Film Darah Daging Jadi Pengingat Apa Arti Rumah dan Keluarga
Film Darah daging
dirilis oleh rumah produksi Skylar Pictures. Sebagai sutradara Sarjono Sutrisno
memang sudah dikenal dengan film-film yang sarat emosi. Salah satunya adalah
film Surat Kecil untuk Tuhan. Film ini sukses meraih penghargaan di dunia perfilman Indonesia.
Film Darah Daging juga
seperti itu. Ditulis oleh Beby Hasibuan, penulis naskah Surat Kecil untuk Tuhan,
film ini menceritakan tentang ikatan keluarga dari para pemainnya. Meskipun
bergenre drama-laga, tapi bagiku film ini justru menonjol bagian dramanya.
Film ini berkisah
tentang tiga kakak-beradik, yakni Arya (Ario Bayu), Rahmat (Rangga Nattra), dan
Fikri (Arnold Leonard) yang merampok sebuah bank bersama beberapa temannya. Setelah
beberapa menit berlalu baru diketahui, tindak kriminal ini dilakukan untuk
membayar biaya operasi ibunda (Karina Soewandi).
Alur filmnya maju
mundur. Berawal dari petemuan Salim (Donny Alamsyah), salah satu perampok yang
dijatuhi hukuman mati dengan seorang penulis bernama Hana (Estelle Linden).
Suasana penjara mengawali film Darah Daging. Penjara yang bersih dan sepi
ditambah dengan seragam tahanan berwarna oranye yang tampak baru. Rasanya
langsung membuatku sadar bahwa aku sedang menonton potongan adegan film.
Dari pertemuan ini,
babak demi babak dalam film mulai berputar. Salim menceritakan kisah masa lalunya
saat merampok bank serta bagaimana perasaannya saat itu.
Salim dan 4 kawannya
merencanakan untuk merampok sebuah bank. Siapa mereka dan apa hubungan antara
para pemain, diceritakan berurutan di dalam film. Cerita yang cukup panjang ini
membuat film ini terasa lambat.
Tapi emosi setiap
tokohnya bagus banget. Betapa mereka putus asa, sedih dan takut. Satu adegan
yang paling aku ingat saat Arya baru saja menggadaikan sertifikat tanah dan
mendapatkan uang. Dia menangis di pinggir jalan sembari memeluk uang yang
diperoleh. Saat itu akting dan ekspresinya dapet banget.
Daripada tegang dengan
adegan action, justru film ini lebih memainkan emosi penonton. Bagian actionya
itu banyak yang kurang greget soalnya. Misalnya adegan tembak-tembakan dengan
polisi di depan bank. Adegannya cukup lama tapi monoton. Cuma saling
tembak-sembunyi-tembak-sembunyi, begitu terus. Bosan lama-lama lihatnya.
Lalu adegan pengejaran
oleh polisi juga biasa saja.
Plot twist film ini
tidak terduga. Kalau ternyata mereka bukan saudara kandung. Bahkan yang sedang
mereka perjuangkan bukanlah ibu kandung. Aku jadi kembali memikirkan makna
Darah Daging. Bahwa, untuk menjadi darah daging bukan hanya dari ikatan saudara
kandung.
Film ini jadi pengingat
apa arti rumah dan keluarga. Rumah adalah tempat di mana jiwa bisa pulang dan
merasa nyaman. Tempat yang dirindukan dan di sana ada yang merindukan. Ada
keluarga di rumah itu.
Lalu keluarga bukan
melulu terdiri dari ibu dan ayah kandung atau saudara kandung. Orang-orang yang
menerima kita dan selalu ada untuk kita, ya merekalah keluarga. Seperti Arya,
Rahmat dan Fikri. Awalnya mereka tidak punya keluarga, hidup sebatang kara di
jalanan. Setelah diadopsi, ketiganya jadi keluarga dan punya rumah.
Ending filmnya juga
bagus, Hana, adik paling kecil dari ketiga kakak yang sudah meninggal hidup
bahagia bersama sang Ibu. Karena paham bagaimana arti keluarga, Hana akhirnya
membuat pant asuhan. Rumah bagi anak-anak yang hidup sebatang kara.
Film ini cocok banget
ditonton bareng keluarga dan sahabat. Warm banget endingnya. Meskipun tetap ada
adegan absurd tiga orang yang sudah meninggal itu lari-lari di padang ilalang
dengan wajah bahagia. Yah, okelah buat menggambarkan kalau mereka bertiga
akhirnya bahagia. Karena pengorbanan yang mereka lakukan tidak sia-sia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar