Dengan rasa rindu kukenang pemilihan umum setengah
abad yang lewat
Dengan rasa kangen pemilihan umum pertama itu
kucatat
Peristiwa itu berlangsung tepatnya di tahun lima
puluh lima
Ketika itu sebagai bangsa kita baru sepuluh tahun
merdeka
Itulah pemilihan umum yang paling indah dalam
sejarah bangsa
Pemilihan umum pertama, yang sangat bersih dalam
sejarah kita
Waktu itu tak dikenal singkatan jurdil, istilah
jujur dan adil
Jujur dan adil tak diucapkan, jujur dan adil cuma
dilaksanakan
Waktu itu tak dikenal istilah pesta demokrasi
Pesta demokrasi tak dilisankan, pesta demokrasi cuma
dilangsungkan
Pesta yang bermakna kegembiraan bersama
Demokrasi yang berarti menghargai pendapat berbeda
Pada waktu itu tak ada huru-hara yang menegangkan
Pada waktu itu tidak ada setetes pun darah
ditumpahkan
Pada waktu itu tidak ada satu nyawa melayang
Pada waktu itu tidak sebuah mobil pun digulingkan
lalu dibakar
Pada waktu itu tidak sebuah pun bangunan disulut api
berkobar
Pada waktu itu tidak ada suap-menyuap, tak terdengar
sogok-sogokan
Pada waktu itu dalam penghitungan suara, tak ada
kecurangan
Itulah masa, ketika Indonesia dihormati dunia
Sebagai pribadi, wajah kita simpatik berhias
senyuman
Sebagai bangsa, kita dikenal santun dan sopan
Sebagai massa kita jauh dari kebringasan, jauh dari
keganasan
Tapi enam belas tahun kemudian, dalam 7 pemilu
berturutan
Untuk sejumlah kursi, 50 kali 50 sentimeter persegi
dalam ukuran
Rakyat dihasut untuk berteriak, bendera partai
mereka kibarkan
Rasa bersaing yang sehat berubah jadi rasa dendam
dikobarkan
Kemudian diacungkan tinju, naiklah darah, lalu
berkelahi dan
berbunuhan
Anak bangsa tewas ratusan, mobil dan bangunan
dibakar puluhan
Anak bangsa muda-muda usia, satu-satu ketemu di
jalan, mereka sopan-
sopan
Tapi bila mereka sudah puluhan apalagi ratusan di
lapangan
Pawai keliling kota, berdiri di atap kendaraan,
melanggar semua aturan
Di kepala terikat bandana, kaus oblong disablon, di
tangan bendera
berkibaran
Meneriak-neriakkan tanda seru dalam sepuluh kalimat
semboyan dan
slogan
Berubah mereka jadi beringas dan siap mengamuk,
melakukan kekerasan
Batu berlayangan, api disulutkan, pentungan
diayunkan
Dalam huru-hara yang malahan mungkin, pesanan
Antara rasa rindu dan malu puisi ini kutuliskan
Rindu pada pemilu yang bersih dan indah, pernah
kurasakan
Malu pada diri sendiri, tak mampu merubah perilaku
Bangsaku.
Menemukan puisi ini di salah satu artikel kompas.com. Membacanya membuat beberapa perasaan muncul sekaligus. Rindu, sedih dan harap. Melihat perilaku calon pemimpin masa kini. Masih ada orang baik memang, bahkan mungkin masih banyak. Tapi, tetap tidak bisa dipungkiri keburukan masih sangat menonjol. Sehari setelah pemilu banyak berita miring tentang kecurangan. Sebelumnya kampanye massal mengundang kegusaran dan tindakan negatif masyarakat. Ini belum memilih presiden. Baru satu hari pasca pemilu sudah amburadul. Berapa uang yang terhambur untuk acara ini. Pesta? Pesta siapa?
Baiklah, jika ditulis daftar keluhan akan menjadi berkilometer panjangnya. Kita tidak harus selalu bergantung pada orang lain untuk menjadi pemimpin. Yang terpenting adalah menjadi pemimpin yang baik untuk diri sendiri. Kita yang mampu membawa perubahan, meskipun dimulai dari diri sendiri. Tetap memiliki semangat untuk lebih baik dan mencintai negara ini. Tempat kita dilahirkan dan tumbuh.
KETIKA INDONESIA DIHORMATI DUNIA (Taufik Ismail)
by
kazebara
on
April 10, 2014
Dengan rasa rindu kukenang pemilihan umum setengah abad yang lewat Dengan rasa kangen pemilihan umum pertama itu kucatat Per...